Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih [Makalah]


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
            Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan. Karena itu pendidikan berperan menyosialisasikan kemampuan baru kepada mereka agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat dinamis.
            Dalam dunia filsafat islam banyak nama tokoh-tokoh yang terkenal salah satu diantaranya adalah Ibnu Miskawaih. Membahas pemikiran seorang Ibnu Miskawaih merupakan hal yang menarik dalam disepanjang khazanah intelektual.makalah ini akan membahas tentang pemikiran pendidikan seorang Ibnu Miskawaih. Yang salah satu diantaranya dari pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan lebih mengarah ke aspek etika dalam pendidikan.
            Diharapkan dengan adanya makalah ini kita dapat memahami lebih tentang pendidikan etika islam menurut pemikiran Ibnu Miskawaih. Selain dari itu kita juga dapat lebih memahami tentang biografi ataupun karya-karya dari Ibnu Miskawaih.
B.Rumusan masalah
1.      Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih?
2.      Apa saja karya-karya Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana pemikiran Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Islam?

C.Tujuan
1.untuk mengetahui biografi Ibnu Miskawaih
2. untuk mengetahui karya-karya Ibnu Miskawaih
3. untuk mengetahui pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibnu Miskawaih





BAB II
PEMBAHASAN
1.Biografi Ibnu Miskawaih
            Ibnu Miskawaih adalah seorang filusuf muslim yang paling banyak mengkaji dan mengungkapkan persoalan-persoalan akhlak. Nama lengkap beliau adalah Abu Ali al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Miskawaih. Dilahirkan tahun 320 H/932 M., dan wafat tahun 412 H/1030 M.
            Kemudian dikenal sebagai Ibnu/Ibn Miskawaih atau Ibnu/Ibn Masakawaih. Nama itu didapatkan dari kakeknya yang semula beragama Majusi (persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukan sebagai seorang pemimpin umat sepeninggal beliau. Dari gelar tersebut tidaklah hern bahwa sebagian orang menganggapnya sebagi seorang yang beraliran Syi’ah. Gelar yang lain adalah al-Khazin, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adid al-Daulah dari Bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai seorang bendahara.[1]
            Aktivitas intelektual Ibnu Miskawaih Dimulai dengan belajar sejarah kepada Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi. Selanjutnya ia belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator atas karya-karya Aristoteles. Disamping itu, ia juga belajar kimia dari Abi al-Tayyibah al-Razi, seorang ahli kimia terkenal di zamannya. Karena keahliannya dalam berbagai ilmu, iqbal mengelempokannya sebagai seorang pemikir, moralis dan sejarawan.[2]
Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli sejarah yang pemikirannya sangat cemerlang, dialah ilmuan Islam yang paling terkenal dan pertama kali menulis filsafat akhlaq. Dia juga sangat memahami model administrasi dan strategi peperangan. Oleh karena itu, dalam sejarah, ia tercatat sebangai sekretaris Amirul-Umarak Adhud-Daulah (
949-982 M) dari daulat Buwahi di Baghdad, merangkap  kepala perpustakaan Bait al-Hikmah.
 Sebagai seorang yang sangat memahami filsafat akhlak, menurut Ahmad Amin, semua karya Ibnu Miskawaih tidak luput dari kepentingan filsafat akhlaq. Sehubungan dengan itu, tidak heran jika Ibnu Miskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis. Abu Manshur al-Tsalabi (421 M) menerangkan bahwa Ibnu Miskawaih adalah pribadi mulia yang penuh keutamaan, halus budi, ahli sastra, alhi balaghah, ulet dan sebagai penyair.[6]
Sebagai seorang filusuf akhlaq, pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlaq. Maka, jika berbicara mengenai pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan mari terlebih dahulu apa dasar pemikiran beliau yang terkait dengan tingkatan daya dan akhlaq.
2.     Karya-karya Ibnu Miskawaih
       Ibn Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
1. Al Fauz al Akbar kitab tentang etika.
2. Al Fauz al Asghar kitab tentang ketuhanan, jiwa, dan kenabian (metafisika)
3. Tajarib al Umam kitab tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun
369 H.
4.      Uns al Farid kitab tentang koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah
5.      Tartib al Sa`adat kitab tentang akhlak dan politik, terutama mengenai pemerintah Bani Abbas dan Bani Buwaih.
6.      Al Mustaufa kitab tentang syair-syair pilihan
7.      Jawidan Khirad koleksi ungkapan bijak
8.      Al Jami` kitab tentang ketabiban
9.      Al Siyab
10.  Kitab al Ashribah kitab tentang minuman
11.  Tahzib al Aklaq
12.  Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
13.  Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
14.  Thaharat al Nafs dan lain-lain[3]
3.    Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
    A.    Dasar Pemikiran
            Terdapat sejumlah pemikiran yang mendasari pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang pendidikan. Pemikiran tersebut antara lain:
 1. Konsep Manusia
    Sebagaimana para filososof lainnya Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya, yaitu:
(1) Daya bernafsu(an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya terendah,
(2) Daya berani(an-nafs an-natbiqah) sebagai daya pertengahan
(3) Daya berpikir (an-nafs an-natbiqat) sebagai daya tertinggi.[4]
            Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.    Sesuai dengan pemahaman tersebut diatas, unsur ruhani berupa an-nafs al-bahimyyat dan an-nafs as-sabuiyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-natbiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-natbiqat tidak akan mengalami kehancuran.Secara sederhada sebagai berikut:
• Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
• Al-Nafs al-Sabu’iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
• Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan.
            Selanjutnya Ibn Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-bahimiyyat(bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat(berani) dengan jasad pada pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat-lemahnya dan sehat-sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat-lemahnya dan sehat-sakitnya kedua macam jiwa ini, dalam menjalankan fungsinya tidak akan sempurnah kalau tidak menggunkan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Dengan demikian Ibn Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan ruhani yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.

2. Konsep Akhlak
            Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkan berdasar pada doktrin jalan tengah, Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi umum antara ekstrem berlebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
            Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga, yaitu: jiwa al-bahimiyyah, al-ghadabiyah dan an-natbiqah. Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-‘iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja’ah, yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa an-natbiqah adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan, adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan dan keseimbangan.
            Selanjutnya Ibn Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem, yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Menurut hemat penulis satu hal menjadi kekurangan Ibn Miskawaih dalam mengurai sikap tengah dalam bentuk akhlak mulia, Ibn Miskawaih tidak membawah satu ayat pun dari Al-Qur’an, dan tidak pula membawa dalil dari hadits. Namun demikian menurut penilaian Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi tidak boleh boros, melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Hal sejalan dengan ayat:
(وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا)
 artinya:“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya,karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”(QS.Al-Isra’:29)[5]
            Ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu sungguhpun Ibn Miskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam.
            Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan menggunakan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehhilangan arah dalam kondisi apapun juga.
 B. Konsep Pendidikan
            Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan:
            Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang
akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia serta akhlak mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan dan konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagaiberikut:
1.            Tujuan Pendidikan Akhlak
 Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih  adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd Al-Hamid As-sya’ir dan Muhammad yusuf musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-Sa’adat di bidang akhlak. Al-Sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak, makna as-Sa’adah sebagaimana dinyatakan M. Abd Hak Anshari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa inggris walaupun secara umum diartikan Happiness. menurutnya as-Sa’adah merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blesednes), dan kecantikan (beautitude).[6]
 Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan  hidup manusia  dalam arti yang seluas-luasnya.
2.Materi Pendidikan Akhlak
 Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu: Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, Hal-hal yang wajib bagi jiwa dan Hal-hal yang wajib bagi hubungannya.
 Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, mempererat hubungan silaturahim, saling membantu, saling mengingatkan, saling tolong menolong dalam kebaikan, dan sebagainya.Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosof.Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat dipelajari agar menjadi seorang filosuf.Ilmu tersebut ialah:Matematika, Logika dan Ilmu kealaman. Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
3.      Pendidik dan Anak Didik
 Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
 Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
 Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
4.      Lingkungan Pendidikan
Seperti pera dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan(as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan trcipta apabila sesame manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurnah. Atas dasar itu, maka setiap induvidu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusi menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.[7]
5.      Metodologi Pendidikan
 Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
          Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan aI-Khazin, digelari juga sebagai ‘guru ketiga’ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H1932 H dan wafat pada tahun 421 H11030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai Bapak Fitsafat Etika Muslim’ dan ‘Bapak Psikologi Pendidikan Muslim’. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.
            Dalam karyanya Tahzib, lbn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun ia dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan. Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya priibadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq al-syrif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidentaI seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.
            Menurut Ibn Miskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagaj berikut:
menanamkan akhlak mulia, memanusiakan manusia, dan sosialisasi individu. Sementara metode dan alat pendidikan yang dapat digunakan menurut Ibn Miskawaih adalah metode alami (tabi’iy), nasihat dan tuntunan ancaman hardikan pukulan dan hukuman, sanjungan dan pujian, serta mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA
Depag.Al quran Kariim:Jakarta:al-kaff.2014
Gunawan, Heri. Pendidikan Islam; Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: Remaja     Rosdakarya. 2014
Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, (Beirut: Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, 1398 H.) cet.II,
Maftukhin. Filsafat Islam. Tulungagung: Penerbit Mizan. 2012
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
2005
Sirajudin Zar. Filsafat Islam. Jakarta: RagaGrafindo Persada.
2014
Sumber internet:



[1] Maftukhin, Filsafat Islam, (Tulungagung: Penerbit Mizan, 2012), Hlm. 116
[2] Heri Gunawan, Pendidikan Islam; Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Hlm. 308
[3] Zar Sirajudin, Filsafat Islam, (Jakarta: RagaGrafindo Persada, 2014), Hlm. 128-129
[4] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, (Beirut: Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, 1398 H.) cet.II, hlm.62
[5] QS. Al-isra’ :59
[6] Zar Sirajudin, Filsafat Islam, (Jakarta: RagaGrafindo Persada, 2014), Hlm. 128-129
[7] Heri Gunawan, Pendidikan Islam; Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Hlm. 310

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Pendidikan Islam Dra. Zuhairini, dkk [RESENSI]

Relevansi Pendidikan Keluarga Islami pada Masyarakat